Header Ads Widget


 

Sudah Diperiksa, Namun Hasil Tak Terungkap: Enam Polisi dan Pengelola Dream Box Masih Misteri

Foto dokumentasi Bripka Sopan Sembiring saat detik-detik menghembuskan nafas terakhir di Teras Dream Box Resto & Cafe Dumai pada 10 April 2025 lalu


SPEEDNEWS.ID, DUMAI - Misteri di balik kematian Bripka Sopan Sembiring pada 10 April 2025 silam masih belum terungkap secara terang benderang. Jenazah anggota Polres Dumai itu ditemukan dalam kondisi tak bernyawa, bersandar di teras Dream Box Café & Resto, dengan mulut berbusa. Peristiwa tersebut menimbulkan berbagai spekulasi, terutama dari pihak keluarga yang menganggap kematian tersebut janggal dan tidak wajar.

Diketahui, dalam keterangan pers Polres Dumai memastikan bahwa Bripka Sopan Sembiring yang ditemukan tewas di sebuah tempat hiburan malam Dream Box, bukan meninggal akibat overdosis narkoba seperti yang ramai diberitakan. Kepastian ini disampaikan langsung oleh Kasi Humas Polres Dumai, AKP Yusnelly. Menurutnya, berdasarkan hasil pemeriksaan awal terhadap tubuh korban, tidak ditemukan adanya indikasi kekerasan fisik maupun penggunaan narkotika dan zat adiktif (napza) Yusnelly, Minggu (13/4/2025). 

"Dari hasil pemeriksaan awal dan otopsi forensik yang dilakukan oleh tim Polda Riau yang dipimpin oleh AKBP Supriyanto, tidak ditemukan tanda-tanda kekerasan atau overdosis narkoba pada tubuh korban," ujar AKP Yusnelly saat itu. 

Hingga kini, belum ada keterangan terbuka dari Polres Dumai terkait penyebab pasti kematian almarhum. Terlebih, penerbitan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) Nomor: SPPP/51.a/V/RES.1.24/2025/Reskrim justru memperkeruh suasana, memunculkan persepsi negatif publik terhadap institusi kepolisian, termasuk terhadap pimpinan tertinggi Polri, Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo.

Praktisi hukum Eko Saputra, S.H., M.H., menilai penerbitan SP3 memang merupakan kewenangan penyidik, namun harus berdasarkan dasar hukum yang kuat.

“Kalau tidak ditemukan cukup bukti, penyidik memang bisa menghentikan penyidikan. Tapi bila keluarga korban merasa keberatan, maka SP3 itu wajib dipertanyakan,” ujar Eko kepada sejumlah wartawan di Pengadilan Negeri Dumai, Kamis (26/6/2025).

Ia menambahkan, apabila laporan polisi dan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) sudah diterbitkan, maka keputusan penghentian perkara harus dilakukan melalui gelar perkara secara transparan.

"Jangan-jangan sudah ada kesepakatan damai. Tapi penting dicatat, perdamaian tidak menghapus unsur pidana," tegasnya.

Eko juga menekankan pentingnya membuka rekaman kamera pengawas (CCTV) di lokasi kejadian sebagai langkah objektif dalam mengungkap fakta.

“CCTV itu bukti penting. Harus dibuka demi kejelasan kasus. Kepolisian seharusnya terbuka dan profesional agar tidak timbul kesimpangsiuran informasi,” tegas Eko.

Ditambahkan praktisi hukum yang juga seorang akademisi ini, jika ada pihak yang berdamai, artinya ada pelakunya. 

"Kalau ada perdamaian, berarti ada pelakunya sehingga kasus berdamai," beber kandidat Doktor ini memaparkan. 

Hingga berita ini diturunkan, Kasat Reskrim Polres Dumai AKP Kris Tofel, S.Tr.K., S.I.K., belum memberikan keterangan resmi terkait SP3 maupun Penetapan Penghentian Penyidikan Nomor: S.Tap/20/V/RES.1.24/2025/Reskrim tertanggal 28 Mei 2025. Upaya konfirmasi wartawan belum mendapat respon. Dugaan perwira pertama yang belum genap setahun menyandang pangkat AKP ini menghindari konfirmasi wartawan terkait tentang Penetapan Penghentian Penyidikan nomor: S.Tap/20/V/RES.1.24/2025/Reskrim tertanggal 28 Mei 2025.

Sebelumnya, enam anggota Polres Dumai dikabarkan telah diperiksa oleh penyidik di Mapolda Riau. Mereka masing-masing berinisial HM (Bripka), MJ (Brigadir), HC (Aiptu), ST (Aiptu), MA (Aipda), dan DS (Briptu). Pemeriksaan juga dilakukan terhadap pengelola serta kasir Dream Box Karaoke.

Namun hingga kini, belum ada keterangan resmi mengenai hasil pemeriksaan maupun perkembangan lanjutan kasus tersebut. Justru, langkah penghentian penyidikan tanpa penjelasan dinilai mencederai prinsip akuntabilitas publik. 

Praktisi hukum lainnya, Johanda Saputra, S.H., turut menyuarakan keprihatinan. Ia menekankan bahwa SP3 hanya dapat diterbitkan jika memenuhi syarat sebagaimana tertuang dalam Pasal 109 ayat (2) KUHAP, yakni tidak cukup bukti, peristiwa bukan tindak pidana, atau demi hukum.

“Alasan seperti pencabutan laporan atau perdamaian tidak serta-merta dapat menghentikan penyidikan, terutama dalam kasus dugaan kelalaian yang berujung kematian,” ujar Johanda, Sabtu (21/6/2025).

Ia merujuk Pasal 359 KUHP yang menyebut bahwa setiap orang yang karena kelalaiannya menyebabkan orang lain meninggal dunia dapat dipidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan maksimal satu tahun.

“Delik ini termasuk delik culpa. Artinya, meski tanpa niat, seseorang tetap bisa dipidana jika kelalaiannya menyebabkan kematian. Proses hukum tetap harus berjalan,” tegas Johanda.

Ia mendesak Polri, khususnya Polres Dumai, agar lebih transparan dan bertanggung jawab dalam menangani kasus yang melibatkan anggotanya sendiri. 

"Publik berhak tahu alasan di balik setiap keputusan hukum. Jangan sampai muncul kesan hukum tajam ke bawah, tumpul ke atas. Keadilan harus ditegakkan tanpa pandang bulu,” pungkasnya. (tim)

Editor: Pepen Prengky

Posting Komentar

0 Komentar